Day 14 (Narasi) Mikoto Goes To School


"Kamu... yakin mau pakai baju seperti itu ke sekolah?"




Makoto terhenyak begitu Mikoto akhirnya keluar dari kamarnya dan muncul di ruang makan. Pasalnya adik angkatnya itu kini memakai setelan gothic punk lengkap dengan asesoris gelang-gelang berduri dan gespernya.

"Ya." Mikoto menjawab dengan wajah datar dan nada datar. Sama seperti biasanya.

"Yang benar saja..." Makoto menggeleng-geleng jengah menatap kaus bergaris-garis hitam putih bergambar grafiti tengkorak.

"Seragamku belum jadi. Cuma ini bajuku yang tampilannya mirip seragam sekolah. Warnanya juga sama-sama merah, kok." Ada nada membela diri dalam suara Mikoto.

"Memangnya kamu tokoh anime?!" potong Makoto gusar. "Terus itu... Kaos kakimu memangnya dimakan tikus, ya sampai lubang-lubang begitu?! Kalau nggak punya kaos kaki yang normal harusnya bilang, biar kubelikan!" omelnya sambil menunjuk-nunjuk kaki Mikoto.

Saking gemasnya Makoto ingin terus mengkritisi penampilan adik angkatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Senyentrik-nyentriknya dia di masa SMAnya dulu, tidak sampai seaneh gadis bertampang dingin di hadapannya. Saat pertama kali bertemu dengan anak itu di Panti Asuhan dulu, dikiranya anak itu tak suka berpenampilan mencolok. 

Bahkan Ran, sahabatnya, sukarelawan panti yang memperkenalkannya pada Mikoto saat masih di Tokyo dulu bilang kalau anak itu cenderung menutup diri dan seolah berusaha membuat keberadaan dirinya tak terdeteksi orang lain.

Jadi siapa yang dihadapinya sekarang? Alien kah???

***

"Kakak..." Mikoto mengeja kata itu lambat-lambat dengan nada sinis. "...kan kamu yang memaksaku sekolah lagi." Mikoto dengan berani menantang mata kakak angkatnya. "Aku lulus ujian masuk, kan." lanjutnya lagi. "Kalau sekolahMU nggak sudi menerimaku gara-gara baju ini, aku nggak keberatan kok liburan di rumah sampai seragamku benar-benar selesai dijahit."

"Sudah ya... Sudah... Aku baru menelepon wali kelas Mikoto dan menjelaskan keadaannya. Soal seragam Mikoto yang belum jadi. Aku bilang ke dia kalau nanti Mikoto akan masuk dengan 'baju selera anak Tokyo'. Kita langsung sarapan saja." Shirayuki Himeka, wanita bule asal Maldives yang jadi induk semang dua kakak-beradik lain darah itu buru-buru menengahi.

"Aku nggak lapar. Aku langsung berangkat saja. Kalau aku sampai terlambat di hari pertamaku masuk, KAKAKKU ini bisa malu, kan." Mikoto mendengus, mengambil tas ransel kecil hitamnya dari kursi dan melangkah keluar ruangan.

Makoto menaikkan satu alisnya. 'Bocah ini kerasukan apa, sih pagi-pagi begini? Semenjak keluar dari Rumah Sakit kelakuannya makin aneh saja.' geramnya dalam hati.

Namun melihat choker kain berwarna ungu yang melingkar di leher Mikoto, lalu handband hitam di kedua pergelangan tangan anak itu, Makoto jadi menahan diri untuk tak menumpahkan kegeramannya. Apa yang disembunyikan Mikoto dengan choker dan handband itu, alasan Mikoto dirawat di rumah sakit, masih membuat Makoto bergidik sampai sekarang. Meski beberapa bulan sudah berlalu sejak kejadian "itu".


Kejadian "itu" yang dialami Mikoto, membuat Makoto shock bukan kepalang

***

"Lho? Tak jadi sarapan? Kalau begitu kubuatkan bekal, ya." Shirayuki terkejut dan mendadak tergopoh-gopoh menyiapkan kotak bekal.

"Nggak usah repot-repot, Shirayuki san. ADIKKU SAYANG ini sudah bisa mengurus dirinya sendiri, kok." cegah Makoto sambil menyendok nasi ke piringnya sendiri dengan tenang.

"Duuuh. Kalian ini kenapa, sih?!" Shirayuki akhirnya jengkel sendiri. "Nanti siang kalian berdua harus ikut sesi konseling! Kalian dengar?! Kalian berdua!" Ia berkecak pinggang.

"Aku berangkat ya, Mamaa... Papaa..." Mikoto berseru dari luar ruangan.

"Hah???" Makoto dan Shirayuki sama-sama bengong.

'Ya Tuhan, Ran... Hebat sekali kamu bisa menangani anak ini dulu...' keluh Makoto dalam hati. Tiba-tiba saja ia merasa kepalanya penuh.


Makoto tak bisa berhenti mengkhawatirkan Mikoto sejak kejadian "itu"

***

Sampai di luar pagar Mikoto mendecakkan lidah, dan menengadahkan kepalanya menatap langit biru. Andai ia bisa meleburkan dirinya menjadi awan tipis di sana dan tak perlu repot-repot menjalani kehidupan di bawah sini dengan berbagai macam permasalahannya. Matanya langsung nyeri ditusuk sinar mentari pagi. Akhir-akhir ini memang ia lebih banyak mengurung diri di kamar. Sebenarnya ia juga bukan jenis orang yang suka keluar rumah. Tak heran kulitnya jadi pucat.

Mikoto menyadari pandangan aneh beberapa tetangga yang berbisik-bisik membicarakan baju yang ia pakai. Jadi ia pun bergegas pergi.

Hari cerah. Langit yang biru. Tapi di dalam hati Mikoto tetap merasa kelabu. Satu tangannya kemudian meraba choker yang melingkar di lehernya. Ia menelan ludah. Yah, mau suasana hati cerah atau kelabu, semua juga pasti akan berlalu. Seperti pergantian siang dan malam tiap hari.


Salah satu cuplikan dari konsep cerita Harukaze no Sekai

Comments

Popular posts from this blog

Day 11 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (I)

Day 13 Konflik Ibu-Anak Yang Menyentuh Hati pada Film Akeelah And The Bee (1)

Day 12 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (2)