Day 11 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (I)


Akeelah and The Bee adalah film drama Amerika yang dirilis pada tahun 2006. Berkisah tentang perjuangan seorang gadis keturunan Afro-American berusia 11 tahun, Akeelah Anderson, dalam mengikuti kompetisi mengeja nasional, Scripps National Speeling Bee. Meskipun bukan kompetisi dalam hal fisik seperti olahraga, menari, atau pertunjukan seperti kompetisi musik, film ini bisa menampilkan atmosfer dramatis, dinamis, dan menegangkan. Mendebarkan terutama di bagian ketika Akeelah menghadapi kata-kata sulit yang bahkan kita, orang dewasa, nggak ngerti apa artinya karena memang jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari atau di artikel-artikel ringan internet. Contohnya: pulchritude, xanthosis, rhesus, effervescent, dan lain sebagainya. Beberapa kali saya iseng buka kamus untuk tahu arti kata-kata itu.

Sumber gambar: byucbmr.com


Dalam perjalanannya menuju kompetisi nasional di Washington DC, Akeelah menghadapi berbagai konflik internal maupun eksternal. Akeelah sendiri membenci sekolahnya, Crenshaw Middle School, yang didominasi oleh murid-murid keturunan Afro-American. Ia tidak menyukai sekolahnya yang bahkan tidak memiliki dana untuk memperbaiki pintu toilet. Selain itu karena ia selalu mendapatkan nilai 100 (A+) dan tak pernah salah sekalipun dalam pelajaran mengeja kata, ia dianggap aneh oleh beberapa anak nakal di sekolahnya. Di awal cerita ia bahkan digambarkan diancam agar mau mengerjakan PR bahasa Inggris anak-anak nakal itu. Karena itu awalnya ia menolak mengikuti kompetisi mengeja di sekolahnya, sampai akhirnya mendapat ”ancaman halus” akan mendapatkan detensi gara-gara sering membolos.

Kepala sekolah Akeelah berharap jika gadis itu lolos, ia bisa mewakili sekolah mereka menuju kompetisi mengeja antardistrik, lalu ke kompetisi regional, dan akhirnya ke nasional untuk menunjukkan pada publik bahwa Crenshaw Middle School memiliki bibit murid yang bagus. Dengan begitu sekolah bisa mendapatkan dana tambahan untuk memperbaiki dan menambah beberapa fasilitas. Namun, Akeelah terhambat karena masalah finansial, ditentang oleh ibunya, dan konflik kepribadiannya sendiri. Beruntung Akeelah memiliki mentor andal yaitu Dr. Larabee. Dibimbing pria itu, Akeelah pun berjuang mengatasi keterbatasannya. 

Pelajaran pertama yang kudapat dari film ini adalah:

    Perfeksionis Bisa Berujung Pada Membesarkan Masalah dan Mengecilkan Diri

Akeelah adalah anak yang bisa dibilang perfeksionis. Karena terbiasa diperlakukan istimewa oleh guru sekolahnya berkat kelebihannya dalam mengeja beberapa kata, ia seolah tak pernah puas dengan pencapaian dirinya. Sikap ini sebenarnya bagus dalam artian Akeelah jadi terpacu untuk belajar lebih keras dalam bidang yang memang menjadi kelebihannya. Namun, karena itulah Akeelah jadi rapuh dan terkesan mudah hancur ketika menemui satu kegagalan saja.

Di penghujung seleksi lomba di sekolahnya, Dr. Larabee meminta Akeelah mengeja satu kata rumit: Pulchritude. Karena tak pernah mengetahui kata itu, Akeelah pun gagal mengejanya. Anak-anak nakal yang biasanya mengintimidasinya bersorak-sorai hanya karena satu kegagalan itu dan Akeelah merasa hancur karenanya. Ia pun berlari meninggalkan ruangan lomba. Padahal, ketika berbincang dengan Dr. Larabee, kepala sekolah Akeelah sendiri bilang bahwa ia tak mampu mengeja kata itu juga. Tak semua orang bisa mengeja kata-kata sulit yang dijadikan tantangan Dr. Larabee bagi Akeelah sebelum kata “pulchritude” itu keluar.



Di tingkat antardistrik, Akeelah pun juga langsung down ketika ia tak mampu mengeja kata “synecdoche”. Beruntung peserta setelahnya kemudian terdeteksi melakukan kecurangan karena dibantu mengeja oleh ibunya dari bangku penonton. Akeelah pun lolos setelah berhasil mengeja kata lain. Dalam perjalanan pulang ketika di mobil, kakak Akeelah mengatakan kalau Akeelah bisa saja lolos ke tingkat nasional. Tapi Akeelah mengabaikan pujian itu dengan mengatakan “Nggak mungkin kalau aku nggak bisa mengeja kata “synechdoche”.



Kita sering membiarkan kegagalan kecil mengacaukan kita secara keseluruhan. Akibatnya lebih jauh lagi, kita kemudian membiarkan orang yang tak memahami kerja keras kita membuat diri kita merasa kecil. Seperti duo berandal yang menertawakan Akeelah gara-gara ia gagal mengeja “pulchritude”. Padahal, sebenarnya mereka terpukau saat Akeelah berhasil mengeja kata-kata sulit sebelumnya.
Akeelah diolok-olok dua murid berandal ketika ia gagal mengeja 1 kata saja


Anna Akana dalam videonya What Should We Do If We Failed meminta kita untuk membedakan antara kegagalan dan diri kita sendiri. Tidak berarti karena kita gagal sekali, maka kita akan gagal seterusnya. 

Tak mudah cepat puas dan terus berusaha keras untuk mengasah kemampuan diri memang karakter yang baik. Tapi tetaplah bersyukur dan menghargai setiap keberhasilan kita, apa pun itu. Di masa-masa hidup yang berat, kita akan tahu betapa pentingnya menghargai usaha yang bisa kita lakukan untuk terus menjalani hidup, sekecil apa pun itu. Lagipula dengan kita belajar mengapresiasi diri sendiri dengan lebih manusiawi, kita pun juga bisa menghargai kebaikan-kebaikan kecil orang lain. Juga tak mudah meremehkan orang lain ketika mereka mengalami kegagalan.

Comments

Popular posts from this blog

Day 13 Konflik Ibu-Anak Yang Menyentuh Hati pada Film Akeelah And The Bee (1)

Day 12 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (2)