Day 4: Berani Bermimpi = Berani Menderita?

Pikiran ini terlintas begitu saja saat aku hendak jalan-jalan ke Pesta Buku #2 Taman Krida Budaya Malang. 



Terbayang olehku kisah para kenalan dan rekan yang mengeluhkan skripsi dan tugas akhir yang mereka kerjakan padahal jurusan yang mereka masuki itu adalah jurusan yang mereka pilih-pilih sendiri. Menjelang masa skripsi julukan #SkripShit memenuhi linimasa sosial media. Setiap bertemu, kalau ditanya soal itu jawabannya suram sekali. Bersaing dengan mereka yang masih berusaha menyanjung dan menyayangi skripsinya dengan hashtag #SkripSweet. 

Terbayang olehku para kenalan dan rekan yang dengan gagah gemilang mengatakan bahwa mereka ingin menjadi seorang penulis. Tapi kemudian begitu waktu berlalu, keluhan demi keluhan berdatangan. Kegiatan menulis jadi terasa menyiksa dan melelahkan. Beberapa mengaku sampai depresi karena berbagai hal. Mulai gagal mendapatkan pembaca, dicuekin di forum dunia maya, mendapat kritikan pedas dari seniornya, merasa genre yang dikerjakan bukan genre mainstream yang disukai pembaca mayoritas (baca: bukan genre romance), sampai mengeluh karena tak bisa menyamai pencapaian penulis lain. Hingga satu momok ini: writing block. 

Temanku yang dulu sempat main band di masa mudanya sempat bilang, "Pada akhirnya aku berpikir realistis dan menganggap cuma orang-orang tertentu yang bisa meraih impiannya."

Seorang rekan yang baru berhasil menerbitkan bukunya berkata padaku, "Teman-temanku berlomba mengucapkan selamat padaku yang sudah menerbitkan buku. Mereka berkata 'aku hebat', 'kamu enak ya'. Dan sebagainya-dan sebagainya. Tapi mereka nggak tahu perjuanganku untuk itu. Aku nggak bisa dibilang bahagia juga.

Ketika kecil kita diajarkan agar berani bermimpi setinggi langit. Seolah semuanya mudah saja begitu berkata, "Aku ingin." Dari kecil kita diajari mengagumi figur-figur dengan pencapaian bombastis sebagai idola. Seolah mudah saja menjadi orang-orang itu hanya dengan berkata, "Aku ingin." Tapi... apakah kita diajari bagaimana melatih mental kita agar tabah dan tawakkal dalam perjalanan meraih mimpi itu? Toh pada akhirnya mimpi paling puol yang ditanamkan di otak kita adalah: lulus, lalu dapat kerja. Udah.

***

Saat ide tulisan ini terlintas secara random di otakku, aku kembali berpikir, "Kenapa manusia menderita justru karena keinginannya sendiri? Dan ketika keinginan itu tercapai, kenapa mereka tidak juga bahagia?"

Dan karena aku juga manusia, aku pun tak luput dari kejadian-kejadian semacam ini. Ada kalanya aku begitu bersemangat dan menggebu. Dunia berada di pihakku. Tuhan terus mengirimkan energi semesta untuk mendukung impianku. Aku terus bergerak-bergerak sampai akhirnya kelelahan. Lagi-lagi ini mungkin masalah manajemen. Manajemen waktu dan energi. Dan rasa lost itu pun ada.

"Untuk apa aku melakukan semua ini?"

"Apa mimpiku akan tercapai hanya jika aku berjuang keras?"

Tanpa kusadari, aku kemudian mendikte Tuhan. Mengira bahwa jalan untuk meraih mimpiku hanyalah jalan yang kupikirkan. Padahal, adakalanya Tuhan menyediakan jalan memutar agar semakin banyak yang bisa kita pelajari, sebelum bisa mendekat ke arah impian itu.

***

Yang nama impian pasti butuh pengorbanan. Semakin besar keinginanmu, semakin banyak yang harus kamu korbankan. Waktu. Energi. Mungkin juga momen ketika kamu seharusnya bisa bersenang-senang dengan orang lain. Seperti seorang komikus lokal yang mengatakan bahwa sejak kecil ia sering disuruh berlatih menggambar oleh ayahnya secara spartan. Justru ketika teman-temannya sedang bermain di luar.

Tapi liat hasilnya sekarang. Tempaan itu benar-benar menjadikannya sebagai seseorang dengan peran yang jelas dalam hidupnya yang saat ini: menjadi komikus, menyampaikan cerita kepada orang banyak, menjadi inspirasi orang banyak, dan juga membuat lebih banyak orang untuk berani bermimpi.

Namun, kenapa masih saja banyak orang nggak bahagia dengan usahanya meraih mimpi?

Agaknya karena... tak semua orang rela membuat pengorbanan. Tak semua orang mensyukuri bahwa ia masih diberi keleluasaan bagi Tuhan untuk bermimpi dan mencoba mewujudkan impiannya. Sepertinya masalahnya mungkin sesederhana itu saja.

Dan, pernahkah kamu berpikir apakah impianmu itu akan membawamu ke kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti? Lalu, pernahkah kamu berpikir untuk mewariskan impianmu itu pada generasi sesudahmu?

Comments

Popular posts from this blog

Day 11 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (I)

Day 13 Konflik Ibu-Anak Yang Menyentuh Hati pada Film Akeelah And The Bee (1)

Day 12 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (2)