Day 3: Curhatmu Ya Curhatku Juga

Memori pada 15 Juni 2017

Pada suatu subuh, seorang yang kuanggap adik mengirim pesan teks padaku. Curhat akan rasa sakitnya. Sakit karena jauh dari orang yang dia cinta.

Aku sendiri saat itu dalam keadaan desperate. Berusaha mencairkan kebekuan di kepala agar bisa mengurai adegan di novel yang sedang kutulis agar lebih runtut dan tak hanya berhenti di konsep saja. Dan draft novel yang kutulis saat itu akan kuikutkan pada seleksi Gramedia Writing Project Batch 3 tahap dua yang deadline pengumpulannya besok! 16 Juni 2017! (baca sampel bab novelku di sini)


Lalu tiba-tiba pesan berisi curhatannya masuk.

Aku mengeluh dalam hati, 'Ya Tuhan. Kenapa selalu begini? Kenapa orang suka beruntun curhat ke aku setiap aku ada masalah sendiri?' 

Sumber gambar: baltyra.com

Ya aku suka ngobrol dan mendengarkan banyak kisah. Dari situ aku belajar. Tapi... Aku benar-benar terjepit oleh rasa frustrasiku sendiri akan novelku yang tak kunjung usai. Kenapa dalam keadaan seperti ini pun tetap ada yang curhat? Kalau aku menaggapi mereka terus, masalahku sendiri gimana? Simpanan energiku gimana? Habis buat orang lain aja? Aaaa...

***

Tapi haruskah aku bersikap kejam dengan mengabaikannya? Sedangkan aku tahu sendiri rasa sakit yang ia rasakan. Ya, saat itu aku tengah menyukai seseorang yang tinggalnya jauh dariku. Jauh di ujung pulau  yang satunya. Ingin bertemu tapi tak bisa. Ingin mengungkapkan rasa sukaku tapi tak bisa. Ingin meluruskan kesalahpahaman yang membuat kami bertengkar hebat sampai putus hubungan pertemanan, tapi tak bisa. Karena kami berjauhan.

Jadi mana bisa aku mengabaikan pesan itu? Karena aku yang ia curhatkan sesungguhnya juga sedang kualami.

Dan. Tiba-tiba saja kata-kata di bawah ini mengalir begitu saja dari ujung jariku. Spontan. Seolah ada yang menggerakkan. Dan ini nasihatku untuk dia. Nasihat yang tampaknya sebenarnya untuk diriku sendiri:

"Tapi dalam hidup kita harus terbiasa menghadapi rasa sakit. Dengan begitu kita bisa lebih kuat. Kalo kamu udah lebih kuat, maka masalah yang dulu terasa menyakitkan bagimu ga akan terasa menyakitkan lagi."

***

Sekarang memang semua ini sebenarnya terasa menyakitkan. Tapi di masa depan, aku akan lebih kuat, dan siap untuk pola tantangan yang lebih baru. Aku harus terus bergerak sebisaku. Terus memanjat. Keluar dari jeratan pola eskapisme ini. Agar bisa menemui tantangan yang lebih baru. Dan dengan gagah berani menyapa impian yang sudah aku lukis sendiri dalam angan dan harapan.

Oke. Dan jawabanku untuk curhatan orang yang kuanggap adik itu rupanya bisa jadi obat baginya untuk sementara waktu, dan terutama untukku sendiri. Saat itu.

***

Dan kini aku sudah disibukkan oleh urusanku sendiri. Urusan organisasi, urusan pengembangan diriku sendiri, dan aku nggak lagi sempat memikirkan tentang "orang itu" sampai sebegitunya seperti dulu. Perasaanku perlahan jadi tawar. Terutama baru-baru ini saat aku berusaha menyambung pertemanan lagi ia malah mengajakku debat tanpa ujung melalui media sosial. Memprovokasiku, dan bodohnya aku terprovokasi juga. Kami saling merendahkan hingga titik darah penghabisan. Seolah kenangan pertemanan jarak jauh kami selama ini benar-benar terkikis. 

Ya sudah. Semua masalah dengannya membuatku bertemu dengan banyak teman baru dan belajar perspektif baru. Teman-teman yang Dikirimkan Tuhan untuk menemaniku saat aku dirundung banyak masalah. Sedangkan dia... tidak ada. Dia tidak ada di sampingku ketika aku membutuhkan teman untuk bertukar pikiran. 

Dan lagi-lagi saat itu aku dihantam kenyataan keras akan sakitnya berharap pada manusia.

Anehnya saat menulis ini pun rasanya hatiku sudah tawar. Tawar karena sibuk menyembuhkan diri untuk rasa sakit lain yang nggak ada hubungannya dengan kisahku dan dia. Padahal, kalau dulu aku menulis ini mungkin aku sudah menangis habis-habisan. Lagipula memang masih ada yang lebih penting untuk dipikirkan.

***

Kalau dipikir-pikir, aku mungkin juga melakukan hal yang sama pada teman-temanku itu. Curhat ketika mereka juga sedang ada masalah. Pada suatu titik, akhirnya aku sadar, dan sekarang mulai mencoba membiasakan diri bertanya, "Apa aku boleh curhat? Kalau mood-mu sedang nggak enak, aku nggak akan curhat sekarang."

Aku sering sedih kalau orang-orang yang sudah memberiku bantuan seperti ini (walau "cuma"* jadi sebatas teman curhat) sedang dilanda kesulitan dan aku nggak bisa membantu mereka secara maksimal sebagaimana mereka pernah membantuku dulu (karena mungkin aku juga sedang ada masalah pelik). Tapi itu berarti aku masih perlu belajar ikhlas. Ikhlas menerima kelemahan diri sendiri. Ikhlas menerima kenyataan bahwa nggak semua orang bisa dibantu dengan cara yang kupikir pasti cocok. Juga ikhlas menerima bahwa... aku sendiri pun bukan sosok super hero yang bisa menyelesaikan semua masalah seorang diri.

Terima kasih Tuhan, Yang Udah Menciptakan berbagai masalah ini sebagai ujian untuk menempa keimanan kita semua... Semoga Engkau selalu Menguatkan kami dalam menjalaninya, sampai kami jadi Pemenang yang Sejati.

***

Oh, dan ngomong-ngomong bagaimana novel yang deadline pengumpulan draft-nya kukebut saat itu? Alhamdulillah lolos. Target awalku untuk mengikuti acara Expert Writing Class Gramedia Writing Project Batc 3 tanggal 22 Juli 2017 tercapai. Tak hanya itu, sepupuku, Mbak Nana, yang sedang bekerja di Qatar sampai menanggung biaya keberangkatan dan pulangku. Padahal, Qatar sendiri sedang menghadapi permasalahan boikot dari beberapa negara tetangganya. Aku benar-benar tak menyangka. Dan aku selalu berpikir, doa siapa ini? Yang mengantarkanku sampai bisa ke Jakarta dan bertemu dengan rekan-rekan penulisku yang selama ini hanya bisa kutemui dan kusapa di dunia maya?

Ya Allah...

Perjuangan selanjutnya adalah menyelesaikan revisian novel itu. Yang penting selesai dulu. Langkah selanjutnya bisa dipikirkan nanti. Ah... Tuhan... Kuatkan aku dalam menjalani ini semua, plus dalam menuntaskan janji-janji yang tertunda.

*pada akhirnya setelah tahu besarnya energi yang dibutuhkan untuk melayani curhatan satu orang sampai benar-benar tuntas, dan bagaimana aku sering terbantu dengan kata-kata positif mereka yang berbaik hati melayani curhatanku aku nggak menganggap "menemani curhat" sebagai sesuatu yang "cuma" lagi.

Waktu dan Keberadaan, adalah kemewahan tak ternilai harganya yang bisa ditawarkan orang padamu, tapi sayangnya seringkali kau remehkan.

*Tulisan ini diikutsertakan pada Kelas Content Writing Selama 3 Bulan Bersama Pak Heri Mulyo Cahyo

Comments

Popular posts from this blog

Day 11 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (I)

Day 13 Konflik Ibu-Anak Yang Menyentuh Hati pada Film Akeelah And The Bee (1)

Day 12 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (2)