DAY: 1 Tak Kenal Maka Tak Peka

"Dasar kamu nggak peka! Kenapa kamu nggak bisa ngertiin aku!"

"Duh, orang itu nggak peka banget, sih. Masak nih ya... dia..." (lalu bisik-bisik di belakang)

Sering tahu hal di atas? Kesannya sinetron banget, ya. Hahaha. Tapi pernah merasakan tudingan serupa? Kebetulan saya sering merasakannya. Bahkan mungkin sejak kecil. Dari orangtua saya sendiri. Mungkin sampai sekarang. Beberapa rekan entah di kuliah juga pernah mengatakan hal yang sama dengan wajah lempeng, "Kamu agak nggak peka, ya?" 

Dan buat saya itu menjengkelkan sekali. Mudah sekali menempelkan stempel ke orang lain dan memperlakukannya sebagai hinaan atau ejekan.

Buat saya sendiri, bukannya justru mereka yang tak peka? Tak peka dengan perasaan saya. Tak memikirkan perasaan saya yang ujug-ujug mendapat cap "tidak peka". Untuk apa saya peka dengan orang-orang yang tak peka dengan perasaan saya? Bwahahaha...

"Lha emang situ sudah merasa yang paling peka gitu?"

Lucunya, jika giliran saya yang protes dengan tingkah mereka yang membuat saya tak nyaman, mereka malah dengan mudahnya berseru, "Biasa aja kali. Sensitif amat. Itu kan cuma bercanda."

Lah. Padahal, buat saya candaan itu mengusik batas toleransi saya. Sudah menyinggung. Semua orang punya batas, kan? Jadi siapa yang tak peka sebenarnya? Bagaimana sih standar agar bisa dibilang "peka" itu? Pada dasarnya semua orang hanya menuntut dirinya untuk dipahami. Parahnya, beberapa hanya ingin dipahami tanpa mau memahami orang lain. Ini hanya masalah perspektif. Parahnya, seringkali perspektif ini kemudian dijadikan pemahaman kolektif tanpa konfirmasi. Lalu menjadi stigma. Hingga membentuk lingkungan yang desktruktif bagi individu-individu tertentu.

Bayangkan jika kamu berada di suatu lingkungan yang terus-menerus menolak untuk melihat sisi baikmu dan hanya mencari-cari kesalahanmu saja. Lingkungan yang tak memberimu ruang untuk introspeksi dan memperbaiki diri tanpa dihancurkan oleh rasa bersalah.

Saya rasa siapa pun bisa jadi monster jika terus berada dalam lingkungan semacam ini.

***

Dan memang orang-orang yang mengatakan "kamu nggak peka" bukan orang yang punya kedekatan emosional dengan saya. Dan dulu tak mudah juga bagi saya untuk menjalin kedekatan emosional dengan orang lain akibat stempel-stempel negatif yang sering saya terima sejak lama. Buat saya dulu terlalu dekat dengan orang lain berarti menguras tenaga untuk memahami orang itu (meski orang itu mungkin tidak mau repot-repot memahami saya), dan harus menerima semua hal yang dilakukan orang itu terhadap saya (agar tidak dibilang "terlalu sensitif" dan "nggak bisa diajak bercanda"). 

Kebanyakan orang yang judgemental tak mencoba mengenal saya, langsung memberikan penilaian begitu saja. Apalagi, alasan yang mereka gunakan untuk menempelkan stigma itu pada saya biasanya sangat sepele. Saking sepelenya, ketika saya bertanya apa yang salah mereka banyak mengatakan, "Pikir aja sendiri." atau "Masa begitu saja tidak tahu?"

Jika saya melakukan kesalahan, bukankan lebih bagus untuk memberitahukannya pada saya dengan cara yang lebih baik dan bisa diterima? Bukannya malah berkata:

"Biasa. Dia kan emang nggak peka."

Seolah mereka senang karena "saya tidak peka". Dengan begitu mereka memiliki bahan gunjingan atau ejekan atas "ketidakpekaan saya". Beberapa manusia senang kan melihat ada orang yang dianggap lebih jelek daripada mereka. Dengan begitu "kejelekan mereka" sendiri "aman".

***

Butuh waktu lama bagi saya untuk terus membangun citra diri yang kuat tanpa mendengarkan semua omongan negatif itu. Sampai sekarang pun saya tetap belajar. Saya berusaha terus mencari lingkungan di luar mereka yang hanya melihat sisi negatif saya. Bergabung dengan berbagai komunitas. Berusaha mengenal orang baru meskipun aslinya saya enggan. Berusaha belajar tentang emosi manusia. Berusaha tahu mengapa ada orang bahagia dan mengapa orang sedih. Berusaha belajar ikut masuk ke dalam kebahagiaan orang lain meskipun saat itu saya sendiri sedang tidak bahagia. Berusaha belajar ikut menghayati kesedihan orang meskipun saat itu saya sedang bahagia. Berusaha mendengar untuk memahami dan belajar. 

Meski semua orang selalu terasa begitu asing. Hingga akhirnya saya asing dengan diri saya sendiri.

Pengalaman hidup banyak mengajarkan akan rasa sakit. Dan dari rasa sakit itu saya mengembangkan empati. Setiap ada orang yang mengungkapkan dirinya pada saya, saya mencoba menggali pengalaman saya di masa lalu, mencari-cari apakah perasaan yang dia ungkapkan sama dengan apa yang pernah saya rasakan. Jika tidak menemukannya dari pengalaman, maka saya akan menggali ingatan dari buku atau film yang pernah saya konsumsi. Karya-karya fiksi memang banyak membantu saya tentang hubungan antarmanusia. Ya, meski saya dilabeli "tak peka" oleh beberapa orang, nyatanya banyak orang yang senang berbagi kisahnya dengan saya. Kalau dibiarkan malah biasanya jadi ketagihan (sampai saya bingung bagaimana cara menghentikannya agar saya bisa mengurusi urusan saya sendiri).

Saya belajar dari itu semua. Dari rasa sakit saya sendiri maupun dari rasa sakit orang lain. Perasaan "blank" atau "numb" dan "kosong" itu tetap ada dan bisa datang kapan saja. Misalnya mendengar berita duka yang tak ada hubungannya dengan saya. Atau mendengar berita orang sakit yang tak ada hubungannya dengan saya. Terutama jika saya sendiri sedang lelah. Terlalu lelah dengan masalah diri sendiri. Terlalu lelah untuk memperhatikan masalah orang lain. Saya lelah karena saya manusia. Wajar, kan.

Tapi sebisa mungkin saya lawan. Saya berusaha menggedor hati saya untuk lebih peduli. Sebisa saya. Karena bagaimana pun, saya bisa selamat dari momen-momen terberat saya juga karena Tuhan gerakkan hati manusia lain untuk membantu saya.

Hingga akhirnya saya dipertemukan dengan orang-orang yang membantu saya memahami sisi baik yang bahkan tak pernah saya sadari. Mereka berterima kasih ketika saya melakukan suatu kebaikan yang bahkan tidak saya sadari. Padahal justru merekalah yang menyembuhkan keresahan dan kewaspadaan berlebih ketika berhubungan dengan orang lain. Mereka yang membuat saya berani terbuka sesuai porsi. Mereka yang membuat saya belajar menghormati orang dari kisah perjuangan hidupnya. Belajar dan belajar. Tuhan Mempertemukan saya dengan mereka untuk belajar. Tuhan Membuat saya bertemu dengan orang-orang itu agar saya menghargai setiap momen kecil dari setiap pertemuan.



Dari mereka juga saya belajar untuk menyayangi lebih dahulu. Karena tak kenal maka tak sayang. Kalau tak sayang, bagaimana bisa peka? 


***

Tulisan diikutsertakan dalam program Kelas Content Writing Selama 3 Bulan dengan mengikuti kurikulum Pak Heri Mulyo Cahyo. 

Comments

Popular posts from this blog

Day 11 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (I)

Day 13 Konflik Ibu-Anak Yang Menyentuh Hati pada Film Akeelah And The Bee (1)

Day 12 Pelajaran yang Kudapat dari Film Akeelah and The Bee (2)